Zakat Profesi

Assalamualaikum Wr.Wb.

Pak ustad, apakah bila total gaji tiap bulan yang saya terima telah saya keluarkan infaq dan shodaqoh lebih dari 2.5% per bulannya dan sebagian ditabungkan.

Pertanyaan :

  1. Apakah masih harus dikeluarkan zakat dari tabungan saya yang terkumpul dan zakat mal nya?
  2. Ada sedikit tabungan dalam bentuk dollar yang rencananya saya persiapkan apabila suatu saat akan melaksanakan ibadah haji. apakah terkena zakat pula? berapa besarnya dan bila terkena kewajiban zakat apakah harus dibayarkan dalam bentuk dollar juga atau cukup dikonversi ke rupiah?

Sebagai informasi penerimaan tiap bulan hanya saya dapat dari gaji + sedikit bagi hasil tabungan di bank syariah.

Terimakasih sebelumnya atas kesediaan ustad menjawab pertanyaan saya.

Wassalamualaikum Wr.Wb.

Jawaban : 

وعليكم السلام ورحمة الله وبركاته

Semakin banyak pertanyaan seputar berapa kadar zakat yang harus dibayar oleh semua orang yang mempunyai penghasilan dari profesinya, adalah pertanda baik bahwa masyarakat kita semakin sadar untuk mengamalkan apa yang diwajibkan atas mereka sebagai kaum muslimin. Ini tidak lepas dari peran para ustadz dan da’i yang tak mengenal lelah mengajarkan tatanan-tatanan Islam yang sempurna itu. Pertanyaan-pertanyaan ini muncul dari para karyawan perusahaan, para dokter, direktur, manager dan sebagainya yang hari ini semakin rajin mengaji ilmu-ilmu Islam di kantor-kantor atau tempat kerja mereka masing-masing. Tentu ini adalah fenomena yang patut disyukuri.

Namun, apakah para pemilik profesi itu memang diwajibkan zakat karena profesinya?

Zakat profesi tidaklah dikenal oleh ulama-ulama dulu. Dalam kitab-kitab kuning yang dikaji oleh para santri di pesantren, tidak ada pembahasan tentang zakat profesi. Pembahasan zakat tersebut baru ditemukan pada “kitab-kitab putih” kurun terakhir ini.

Salah satu ulama kontemporer yang mewajibkan zakat profesi adalah Syaikh Dr. Yusuf Al Qordhowi dalam karya monumentalnya Fiqh Az Zakah. Beliau menulis pasal khusus tentang zakat profesi dalam kitabnya itu. Zakat profesi beliau masukkan dalam pasal 9 bab 3. Menurut beliau, takyif al fiqhi (…..…) yang tepat untuk zakat profesi adalah al maal al mustafaad. (harta yang baru dimiliki oleh seorang muslim dengan jalan yang syar’i). Yang termasuk kategori al maal al mustafaad adalah harta warisan, harta pemberian atau hadiah (hibah). Begitu juga dengan gaji karyawan, penghasilan direktur, penghasilan dokter, insinyur, pengacara dan profesi-profesi yang lain. Oleh karena itulah, zakat profesi dikategorikan oleh Al Qordhowy dalam zakat al maal al mustafaad.

Kalau zakat profesi dimasukkan dalam kategori al maal almustafaad, tentu logikanya hukum yang berlaku pada al maal al mustafaad juga berlaku pada zakat profesi. Hanya saja, beliau berbeda dengan jumhur ‘ulama yang mensyaratkan Haul (dimiliki selama setahun) dalam mewajibkan dikeluarkannya sebuah zakat. Sehingga, siapapun yang memiliki penghasilan yang telah mencapai nishob (batas harta yang wajib dikeluarkan zakatnya)  maka pada saat itu juga dia sudah berkewajiban membayar zakat.

Berapakah nishobnya ?

Menurut para ‘ulama, nishobnya al maal al mustafaad adalah 85 gram. Ketentuan nishob ini mengacu pada nishob emas. Namun ada ‘ulama lain -seperti Al Ustadz Muhammad Al Ghozali- yang berpendapat bahwa nishob zakat profesi adalah 5 Wasaq atau setara dengan 652,8 Kg gabah. Nishob ini mengacu pada analogi zakat profesi ke zakat pertanian. Perlu diperhatikan, nishob zakat harus merupakan penghasilan bersih setelah dipotong berbagai kebutuhan pokok.

Sampai disini, kita jawab dulu pertanyaan pertama dari Ibu Ina. Apakah masih harus dikeluarkan zakatnya kalau kita sudah berinfaq dan bersodaqoh 2.5% ?

Jawabannya : Kalau penghasilan bersih kita pas pada batas nishob yaitu 85 gram emas, maka hendaknya kita lebih memilih untuk menuaikan kewajiban daripada bersodaqoh yang sunnah. Untuk apa kita memilih pahala sunnah kalau resikonya adalah berdosa karena meninggalkan kewajiban? Bukankah lebih baik kita memilih pahala menunaikan kewajiban sekaligus menghindari dosa? Sebab, infaq dan sodaqoh Ibu yang 2.5% itu sama sekali tidak bisa menggugurkan kewajiban zakat.

Adapun kalau penghasilan bersih kita berlebih. Maksudnya lebih dari 85 gram emas, maka tunaikanlah dulu kewajiban zakat itu, baru setelah itu, Ibu bebas untuk bersedekah dan berinfaq sepuasnya.

Jawaban seperti ini, berlaku bagi yang mengikuti ijtihad fiqihnya Syaikh Al Qordhowy dan ulama lain yang sependapat dengannya. Jadi, setelah memperoleh harta bersih (terbebas dari kebutuhan) yang mencapai nishob, maka si pemilik harta harus langsung menunaikan zakatnya. Tanpa menunggu berlalunya satu tahun kepemilikan harta tersebut.

Adapun kalau kita mengikuti Jumhur ‘Ulama yang mensyaratkan adanya haul (berlalunya harta setahun), maka Ibu belum berkewajiban menunaikan zakat. Pada saat ini, Ibu baru harus memulai menghitung waktu kepemilikan harta yang telah mencapai nishob itu. Sampai akhirnya harta tersebut berumur satu tahun dan selama itu tidak berkurang dari batas nishobnya. Pada akhir tahun itulah saatnya kewajiban membayar zakat al maal al mustafad Ibu tunaikan. Demikian seterusnya setiap tahunnya, jika harta Ibu telah tiap tahunnya memang mencapai nishob. Dan kami pribadi lebih condong mengikuti pendapat jumhur ulama ini. Karena, demikianlah syariat diturunkan atas Rasulullah SAW.

Pertanyaan kedua

Pada dasarnya haji hanya diwajibkan atas mereka yang mampu. Jadi kita “tidak perlu repot-repot” memampukan diri agar bisa haji. Maksudnya, selama kita belum ada kewajiban haji, maka uang yang terdapat dalam rekening jika telah mancapai nishob dan telah tersimpan selama satu tahun, wajib dikeluarkan zakatnya. Dengan kadar seperti yang terdapat dalam jawaban pertanyaan pertama. Namun, jika uang tersebut telah mencapai jumlah yang dengannya seseorang dianggap mustati’ (mampu), maka dia perlu segera mendaftarkan diri manjadi calon jamaah haji.

Ustadz Ahmad Sarwat,Lc

About adminmtt

Majelis Telkomsel Taqwa adalah organisasi yang berasaskan Islam dan mewujudkan insan Telkomsel yang bertakwa, amanah, profesional, berakhlaq mulia serta mampu menyebarkan karakter tersebut baik di lingkungan Telkomsel maupun di lingkungan lainnya yang lebih luas

1 comments

Pertayaan saya: Saya ada mempunyai sedikit simpanan yg saya simpan di dalam KWSP semasa saya bekerja selama 35 tahu dan saya sekarang telah bersara hampir 2 tahun dan wang itu saya simpan dalam ASN untuk menampung baki2 penghidupan di dunia ini dan juga menampung perbelanjaan anak2 yg masih bersekolah seramai 3 orang,2 org menuntut di IPT dan seorang lagi masih bersekolah dalam tingkatan 5,tempat tinggal masih menyewa dan patutkah saya membayar zakat dari simpanan saya itu?

Leave a Reply