Pendidikan Anak di Era Layar

Setelah fokus pada dakwah keluarga khususnya pada masalah suami-istri, staging berikutnya dari dakwah kantor adalah masalah pendidikan anak pada. Program dakwah yang mengangkat masalah pendidikan anak ini menjadi sangat penting mengingat persoalan anak menjadi pilar berikutnya dalam kokohnya sebuah rumah tangga. Tujuan utama berkeluarga diantaranya adalah melahirkan generasi yang lebih berkualitas di masa yang akan datang. Harapan akan lahirnya peradaban Islam yang gemilang harus dimulai dari proses pendidikan anak dalam keluarga, dan kunci dari kesuksesan dari proses pendidikan anak ini adalah pada figur orang tua yang harus memahami betul akan perannya sebagai pendidik utama bagi anak-anaknya.

Saat ini persoalan anak dan remaja menjadi begitu rumit di masyarakat. Kenakalan anak dan remaja seolah menjadi hal yang sulit untuk direduksi. Kejahatan yang dianggap serius oleh syari’ah Islam diantaranya perilaku yang akan merusak akal dan keturunan telah merasuk menjadi penyakit yang diderita oleh kalangan remaja kita. Ke dua perilaku yang menjangkiti anak-anak kita yang akan merusak akal dan keturunan tersebut adalah penyalahgunaan  narkoba dan perilaku seks bebas.

Tingkat penyalahgunaan narkoba di kalangan remaja di Indonesia sangat memprihatinkan. Data resmi dari Badan Narkotika Nasional (BNN) menyebutkan bahwa penggunaan narkoba di kalangan remaja terus mengalami peningkatan yang tajam. Pada tahun 2010 terjadi empat juta kasus penyalahgunaan narkoba oleh remaja, dan pada tahun 2011 meningkat menjadi lima juta kasus, ini berarti terjadi peningkatan sebesar 25% dalam satu tahun, jumlah yang sangat fantatastis.

Fakta perilaku seks bebas di kalangan remaja juga sangat mencengangkan. Hasil survey yang pernah dirilis oleh Synovate Research tentang perilaku seks remaja di 4 kota besar: Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Medan dengan kisaran usia 15 sampai dengan 24 tahun menyebutkan bahwa 44% responden mengaku telah mempunyai pengalaman berhubungan seks sejak usia 16 sampai dengan 18 tahun dan 16% mengaku mendapatkan pengalaman berhubungan seks sejak usia 13 sampai dengan 15 tahun. Mayoritas mereka mendapatkan informasi tentang seks dari temannya (65%), dari film porno (30%) dan hanya 5% yang mendapatkannya dari orang tuanya. Survey ini juga menyebutkan bahwa rumah orang tua menjadi tempat favorit mereka untuk berhubungan seks (40%) selebihnya di tempat kost (26%) dan penginapan (26%). Uniknya, sebanyak 68% persen responden menyadari bahwa seharusnya mereka menunda hubungan seks sampai terjadinya pernikahan dan 80% mengetahui bahwa hubungan seks di luar nikah adalah dilarang oleh agama.

Belum lagi kita bicara tentang kenakalan remaja lainnya, seperti konsumsi terhadap alkohol, rokok, kejahatan jalanan,  tawuran massal, dan kenakalan lainnya yang semakin hari semakin meningkat dan sulit di kontrol. Jika semua fakta ini tidak mendapatkan solusi yang tepat, maka akan semakin mengaburkan masa depan bangsa ini sekaligus menutup rapat jalan kembalinya kejayaan peradaban Islam,  karena masa depan kita ada pada mereka.

Apa lagi era perkembangan teknologi informasi yang sangat pesat dewasa ini, di samping  membawa menfaat yang sangat besar juga menimbulkan ekses negative bagi anak dan remaja yang sangat berbahaya. Mereka dapat dengan sangat mudah mengakses berbagai sajian informasi yang negatif dari internet melalui gadget mereka. Jika kita tidak dapat mengendalikan dan mengarahkannya akan sangat fatal dampaknya bagi masa depan mereka. Tentunya persoalan ini akan sangat menantang sebuah institusi dakwah dalam mencari format pendidikan yang tepat dan efektif untuk mereka.

Berbicara mengenai masalah pendidikan anak dalam keluarga, sesungguhnya kita sedang membicarakan tentang masalah peran orang tua pada proses pengasuhan  terhadap anak-anaknya (tarbiyatul aulad). Keluarga sebagai institusi yang memegang peranan kunci utama dalam pendidikan anak harus terus diperkokoh fungsinya. Pendidikan anak tidak dapat di “outsource” kepada sebuah lembaga pendidikan apalagi  sekedar hanya oleh seorang baby siter. Lembaga pendidikan formal hanyalah sebagai instrument pelengkap saja dari sebuah proses pendidikan anak yang panjang. Institusi utama yang harus berperan dan menjadi pelaku utama adalah keluarganya sendiri. Sementara itu, karakteristik keluarga pasangan kantoran tentunya memiliki keunikan tersendiri. Waktu interaksi dengan anak yang sangat sempit, tingkat stress pekerjaan yang tinggi, dan kesempatan berkomunikasi dengan anak yang sangat terbatas akan memunculkan problematika tersendiri dalam proses pendidikan anak ini.

Kebanyakan dari keluarga kantor adalah keluarga muda yang sangat minim pengalaman dalam mendidik anak, bahkan kondisi hubungan spikologis suami istripun masih sangat labil. Maka pembekalan pengetahuan dan tips-tips dalam mengelola proses pendidikan anak sangat diperlukan oleh mereka, sementara kesempatan untuk mendapatkan pengetahuan semacam ini sangat sulit diperoleh di luar, mengingat sebagian besar waktu mereka ada di kantor setiap harinya.

Lembaga Dakwah Kantor harus sangat serius mengelola program dakwah kepada segmen keluarga kantoran khususnya mengenai masalah pendidikan anak ini. Pelaksanaan dakwah kantor khusus mengenai pendidikan anak di era digital seperti ini harus dirancang secara komprehensif agar menghasilkan output yang optimal. Program parenting skill ini bahkan harus dimulai dari membangun pengetahuan orang tua terhadap pendidikan anak sedari anak masih belum lahir. Calon orang tua harus dibekali dengan berbagai pengetahuan tentang bagaimana Islam mengajarkan perlakuan terhadap anak yang masih dalam kandungan, memperlakukan anak saat lahir beserta adab-adabnya menurut Islam, sehingga bayi dapat lahir dan tumbuh menjadi anak dan remaja sesuai dengan fitrahnya.

Program pendidikan anak  selanjutnya yang sangat penting dan kritis adalah pola pengasuhan anak di usia dini, mulai usia nol sampai dengan usia 10 tahun hingga usia 16 tahun. Range usia ini sangat penting dalam perkembangan psikologi anak, karena dalam rentang usia inilah seharusnya penanaman karakter dapat dilakukan dengan benar oleh orang tuanya. Keberhasilan pendidikan anak pada usia ini akan sangat menentukan keberhasilan pendidikan anak pada usia setelahnya. Sebaliknya, kegagalan pendidikan anak pada usia ini akan menjadi hambatan besar bagi perkembangan mereka pada usia selanjutnya. Anak pada usia di atas 16 tahun telah memiliki karakternya sendiri yang akan sangat sulit untuk dirubah oleh orang lain termasuk oleh orang tuanya sendiri.

Pasangan keluarga kantoran sangat memerlukan pelatihan khusus mengenai pendidikan anak usia dini ini dengan program yang intensif berupa seminar dan workshop dalam beberapa sesi. Program ini harus menghadirkan pemateri dari kalangan pakar pendidikan anak. Dalam program ini sebaiknya juga dapat dihadirkan  para praktisi pendidik anak dalam keluarga, yaitu orang tua yang telah dianggap berhasil mendidik anak-anaknya untuk menggali pengalaman empiris mereka dalam mengantarkan kesuksesan anak-anaknya.

Program parenting skill juga harus menyentuh tema-tema yang lebih detail sesuai dengan kebutuhan orang tua, termasuk dalam membahas urgensi peran khusus seorang ayah dalam membimbing anak. Hal ini sangat penting mengingat ada persepsi umum bahwa tanggung jawab pendidikan anak ada pada seorang ibu saja, padahal peran keduanya sangatlah vital dalam pembentukan karakter seorang anak.

Dari semua program parenting skill, ada satu hal yang sangat mendasar yang menjadi PR besar dari sebuah institusi dakwah kantor, yaitu meluruskan persepsi orang tua terhadap “kesuksesan hidup” anaknya. Pada masa di mana faham materialisme telah merasuk jauh ke dalam jiwa masyarakat kita, semua keberhasilan seseorang hanya diukur dari kaca mata materi saja. Demikian juga dengan persepsi mengenai kesuksesan hidup anak-anak kita, kebanyakan orang tua terjebak pada pemahaman yang sangat keliru yang secara tidak sadar telah menganut doktrin-doktrin materialisme ini. Padahal parameter kesuksesan hidup seseorang telah ditetapkan oleh Allah SWT, yaitu “fiddunya hasanah”,  ketika ending dari hidup seseorang berakhir dengan husnul khotima,  dan “fil aakhirati hasanah”, yaitu ketika kehidupannya di akherat kelak Allah memberikan karunia syurga-Nya dan terbebas dari api neraka-Nya. []

About Fathoni

M Fathoni Yasin, Sekjen Majelis Ta'lim Telkomsel dan juga aktif sebagai penulis pada salah satu rubrik di Majalah Oase

Leave a Reply