Pertanyaan Seputar Ibadah Haji dan Hari Raya Qurban

Materi Kajian kali ini akan membahas beberapa pertanyaan tentang Ibadah Haji dan Hari Raya Qurban, sehingga kajian kali ini lebih kepada tanya jawab antara Ustad dan peserta kajian. Berikut beberapa ulasan kajian-nya :

Materi Pendahuluan
Ibadah Qurban jika dilihat dari definisi etimologi, kata qurban diambil dari bahasa arab yang berasal dari 3 huruf yaitu Khof, Ro’ dan Ba’. Dimana kata dasar Qurban adalah Qoruba yang kemudian membentuk sebuah kata lain yaitu Qurban. Pada surat Al Maaidah ayat 27 disebutkan: “Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua putera Adam (Habil dan Qabil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan kurban, maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). Ia berkata (Qabil): “Aku pasti membunuhmu!”. Berkata Habil: “Sesungguhnya Allah hanya menerima (kurban) dari orang-orang yang bertakwa”.
Dalam terjemahan departemen agama RI, kata-kata Qorroba/Qurban dalam ayat tersebut diartikan sebagai mendekatkan diri kepada Allah swt. Kisah dari para mufassirin (seperti halnya ayat diatas), dimana Habil dan Qabil mendekatkan diri kepada Allah swt dengan cara memberikan persembahan, yaitu berupa kambing dan hasil tanaman. Jadi sebenarnya makna Qurban bukanlah menyembelih, jika melihat asal katanya.

Tetapi kemudian, istilah Qorroba/Qurbanan tersebut memiliki makna khusus ketika masuk dalam istilah syariah. Yaitu yang bermakna menyembelih hewan qurban dengan syarat tertentu pada hari raya Idul Qurban sesudah sholat Idul Adha (dan sampai pada 3 hari sesudahnya) yang tujuannya adalah pengorbanan kepada Allah swt.

Qurban atau Kurban juga memiliki padanan kata yaitu Udhhiyah ( yang juga digunakan pada hadist Rasulullah saw). Hadist tersebut diantaranya adalah “Siapa yang mendapati dirinya dalam keadaan lapang, lalu ia tidak berqurban, maka janganlah ia mendekati tempat salat Ied kami.” HR. Ahmad dan ibn Majah.

Sering kali ibadah Qurban dipahami tidak secara utuh seperti halnya makna aslinya. Maksud tidak dipahami secara utuh adalah, banyak orang yang mengira/berpikiran ibadah qurban adalah ibadah sosial, padahal sesungguhnya tidak. Dimana ibadah qurban adalah lebih kepada ibadah ritual. Jadi unsur sosial-nya sebenarnya tidaklah menjadi visi/misi utama dalam pelaksanaan ibadah qurban. Memang benar ibadah Qurban memiliki nilai ibadah sosial, namun di sisi Allah swt lebih melihat kepada sisi ritualnya.

Kemudian apakah yang membedakan antara ibadah sosial dengan ibadah ritualnya? Untuk mengetahui perbedaannya, kita ambil contoh ibadah sholat. Ibadah sholat adalah salah satu bentuk ibadah ritual dengan segala bentuk aktifitas gerakan anggota tubuh berupa rukuk, sujud dll yang sebenarnya kita tidak mengetahui secara jelas kenapa gerakan sholat harus seperti itu. Jika ternyata dengan ibadah sholat ada orang yang mendapatkan manfaat gara-gara dalam ibadah sholat ada gerakan sujud, dimana dengan bersujud orang tersebut merasa peredaran darahnya menjadi lebih lancar, maka hal tersebut bukanlah tujuan utama atau dasar pensyariatan dari ibadah sholat. Namun apa yang didapatkan oleh orang tersebut adalah berupa hikmah dari ibadah sholat yang sebagaian orang bisa mendapatkan hikmah yang sama, namun ada juga orang lain yang tidak mendapatkan hikmah tersebut. Sehingga tidak bisa disimpulkan bahwa dengan ibadah sholat akan memperlancar peredaran darah. Karena hikmah lebih bersifat individual yang antara orang yang satu dengan lain tidak sama. Maka ibadah ritual (sebagai contoh sholat) tidak menjelaskan kenapa ada gerakan rukuk harus demikian caranya, kenapa sujud harus ini dan itu dll.

Berbeda dengan ibadah sosial, dimana dalam ibadah sosial akan dijelaskan kenapa ibadah tersebut demikian adanya. Contoh ibadah sosial adalah zakat. Dimana di dalam zakat telah jelas disebutkan tentang tujuan visi dan misinya yaitu memberi makan fakir-miskin. Bagaimana caranya orang-orang miskin tersebut tidak kelaparan, maka disisihkan lah sebaian harta dari orang kaya (petani, peternak, dll)

Ibadah qurban bukanlah ibadah sosial seperti halnya zakat, namun lebih kearah ibadah ritual seperti halnya sholat. Dimana tujuan-nya bukanlah makan kambing, bukan juga membagi daging kambing kepada fakir-miskin, bukan pula bagaimana mengelola daging qurban, namun ibadah qurban mempunyai tujuan utama berupa ibadah ritual yaitu berupa tumpahnya darah ketika hewan qurban tersebut di sembelih. Dan jika daging hewan qurban nantinya akan dibagikan, dimakan, dikelola itu urusan sekian (bukan yang utama).

Berikut beberapa contoh kisah-kisahnya ((Kisah yang lain dapat juga dibaca disini)) :

Kisah 1 (tentang 2 anak nabi Adam as yang saling berebut istri)
Pada waktu itu Allah memerintahkan kepada dua orang anak nabi Adam untuk melakukan ritual qurban. Salah satu anak nabi adam yaitu Habil, memberikan persembahan terbaik untuk diqurbankan, sedangkan Kobil mendatangkan hasil dari pertaniannya yang sudah rusak dan busuk yang menunjukan ketidak ikhlasannya dalam melakukan ritual qurban yang diperintahkan Allah, yang menyebabkan tidak diterimanya qurban yang dilakukannya, sedangkan yang diterima adalah ritual qurban yang dilakukan Habil, dan apa yang dilakukan habil menunjukan keikhlasan dalam melaksanakan perintah qurban yang menjadikan qurbannya diterima disisi Allah.

Dalam kisah tersebut, ketika yang diterima adalah qurban berupa kambing, maka kambing tersebut tidaklah kemudian dibagi-bagi atau dimakan. Dalam riwayat diceritakan bahwa hewan qurabn yang berupa kambing tersebut di sambar petir dan gosonglah kambing tersebut. Yang berarti bahwa qurban tersebut diterima oleh Allah swt. Dalam kisah ini maka yang dimaksud ibadah qurban yaitu intinya ketika mengeluarkan harta (berupa kambing) tersebut.

Kisah 2 (Nabi Ismail as yang di sembelih oleh Nabi Ibrahim as)
Melalui sebuah mimpi, Allah telah memerintahkan Nabi Ibrahim untuk menyembelih anaknya dari Hajar yaitu Nabi Ismail. Ketika Nabi Ibrahim bersiap-siap untuk menyembelih anaknya, seketika Allah mengirimkan seekor qibas yang menggantikan Nabi Ismail. ((Kisah ini diceritakan dalam Alqur’an surat Ash-Shaaffaat ayat 102 – 109 : “Maka tatkala sang putra itu berumur dewasa dan bisa berusaha bersama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku, sesungguhnya aku bermimpi aku menyembelihmu, maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu!”. Ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.))

Maka ketika hewan qibas tersebut disembelih oleh Ibrahim dan tumpahlah darah hewan tersebut, dimana jika ternyata daging-nya dimakan atau tidak dimakan maka bukanlah menjadi urusan sah atau tidak-nya ibadah qurban itu sendri. Namun lebih kearah ritual penyembelihan hewan-nya.

Kisah 3 (Qurban yang dilakukan oleh Rasulullah saw)
Ketika Rasulullah saw berqurban dengan menyembelih 2 ekor kambing, maka yang di sembelih itulah yang menjadi urusan ibadah qurban. Adapun daging-nya dibagikan ke siapa dan kemana tidak ada ketentuan yang baku.

Maka dalam Al Quran tidak ditemukan ayat yang menjelaskan tentang siapa sajakah yang mustahik qurban, namun yang ada adalah ayat tentang mustahik zakat. Maka ketika Rasulullah saw setelah selesai menyembelih hewan qurban, beliau pun kemudian ikut memakan hewan qurban yang sudah di sembelih tersebut. Berbeda dengan zakat, dimana orang yang ber-zakat tidak diperkenankan untuk menikmati harta zakat. Sehingga dalam ibadah qurban yang menjadi vis/misi utamanya adalah ketika hewan qurban tersebut di sembelih dan tumpah-lah darah dari hewan tersebut.

Adapun tentang daging hewan qurban (menurut para ulama berdasarkan yang dilakukan oleh Rasulullah dan sahabat) dibagi menjadi 3 (yang bukan meiliki ketentuan baku).

[1] Dimana sunnahnya daging hewan qurban dimakan oleh yang ber-qurban/menyembelih. Rasulullah menyembelih hewan qurban kemudian memakannya. Sehingga menurut para ulama, sunnahnya yang menyembelih ikut makan juga.

[2] Hewan sembelihan juga diperbolehkan dibagai ke orang lain dan tidak harus orang fakir-miskin, yang kemudian disebutlah istilah hadiah. Maka daging hewan qurban bisa dibagaikan sebagai hadiah kepada tetangga, orangtua, bahkan atasan.

[3] Yang ketiga boleh disedekahkan kepada fakir miskin.

Sehingga para ulama membagi menjadi 3 dalam hal pembagian daging hewan qurban agar lebih adil yaitu Daging hewan kurban dibagi tiga, 1/3 untuk dimakan oleh yang berkurban, 1/3 disedekahkan, dan 1/3 bagian dihadiahkan kepada orang lain.


Tanya – Jawab

Bagaimana hukumnya mewakilkan penyembelihan hewan qurban ke orang lain ?

Jikalau orang yang ber-qurban mempunyai kemampuan untuk menyembelih sendiri hewan qurban maka dianjurkan untuk disembelih sendiri. Namun jika ternyata orang yang berqurban tidak dapat hadir secara langsung di tempat penyembelihan qurban, maka bisa diwakilkan kepada orang lain, dan hukumnya boleh. Hal ini sama halnya dengan orang yang pergi haji, sudah mampu dari sisi keuangan namun tidak mampu dari sisi kesehatan, walaupun sudah sampai di mekkah, ketika ingin melakukan lontar jamarot misalnya, maka dapat diwakilkan kepada orang lain dengan atau tanpa dengan imbalan. Bahkan jika seseorang berhalanagan untuk beribadah haji langsung ke Mekkah, maka orang tersebut dapat mewakilkan-nya kepada orang lain dengan syarat orang yang mewakilkan tersebut sudah pernah ibadah haji sebelumnya.

Bagaimana hukum mengatasnamakan ibadah qurban atas nama orang lain ?

Tentang ibadah qurban para ulama terdapat perbedaan pendapat tentang bagaimana hukumnya.
Yang pertama, menurut mahdab Hanafi, para ulama mengatakan hukumnya fhardhu ain bagi setiap muslim baik laki-laki maupun perempuan yang sudah baligh untuk menyembelih hewan qurban setiap tahun dengan syarat ada kemampuan dalam hak keuangan-nya. Hal ini didasarkan pada hadist berikut :
“Siapa yang mendapati dirinya dalam keadaan lapang, lalu ia tidak berqurban, maka janganlah ia mendekati tempat salat Ied kami.” HR. Ahmad dan ibn Majah.

Yang kedua, menurut mayoritas ulama, ibadah qurban hukumnya sunnah. Jika dikerjakan atau tidak dikerjakan juga tidak apa-apa meskipun orang tersebut memiliki kelebihan harta. Hal ini berdasarkan pada sunnah rasul. Dimana Rasulullah selama hidup beliau, hanya melakukan ibadah qurban sekali saja. Bahkan para sahabat juga demikian, mereka menyembelih hewan qurban sesekali namun tidaklah tiap tahun.

Yang ketika, berdasarkan apa yang dilakukan oleh nabi juga. Beliau menyembelih 2 ekor kambing, yang gemuk, yang tebal bulunya, yang kuat tanduknya. Pada saat menyembelih hewan qurban yang pertama, Rasulullah berkata “Ya Allah ini qurban dari Aku dan atas nama ummat-ku”. Sedangkan untuk kambing yang kedua, Rasulullah berkata “Ya Allah ini qurban dari Aku atas namaku dan keluargaku”. Hal ini menunjukkan bahwa menyembelih hewan qurban hukumnya sunnah kifayah, yang artinya bahwa jika dalam 1 keluarga cukup 1 hewan qurban (kambing) maka sudah mewakili seluruh anggota keluarganya (menurut mahdab safi’i) ((Aku (Muhammad Syamsul Haq Azhim Abadi) katakan: “Pendapat yang benar adalah seekor kambing cukup untuk satu keluarga, karena para sahabat melakukan seperti itu pada masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.”))

Jika 1 ekor sapi bisa dijadikan qurban untuk 7 orang. Bagaimana jika ke-7 orang tersebut adalah seluruhnya kepala keluarga. Apakah seluruh anggota keluarga dari masing-masing kepala keluarga tersebut sudah terwakilkan (seperti halnya ketentuan 1 kambing untuk 1 keluarga) ?

Untuk pertanyaan seperti ini, tidak ada hadist yang menyebutkan secara pasti. Namun secara logika dapat dijelaskan bahwa 1ekor kambing mempunyai harga lebih murah daripada harga 1/7 dari 1 ekor sapi (misal 1 kambing harganya 1,3juta sedangkan 1 ekor sapi harganya 10juta. Maka harga 1/7 sapi adalah sekitar 1,5juta. Dengan demikian maka secara logika harta yang dikeluarkan untuk membeli 1/7 ekor sapi tentunya lebih besar dari pada 1 ekor kambing. ((Seekor sapi boleh dijadikan qurban untuk 7 orang. Sedangkan seekor unta untuk 10 orang (atau 7 orang). Dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhu beliau mengatakan, ”Dahulu kami penah bersafar bersama Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam lalu tibalah hari raya Idul Adha maka kami pun berserikat sepuluh orang untuk qurban seekor unta. Sedangkan untuk seekor sapi kami berserikat sebanyak tujuh orang.”))

Bagaimana menyikapi terdapatnya perbedaan waktu penetapan hari raya Idul Adha atau hari raya Qurban ?

Perbedaan waktu dalam menetapkan hari raya Idul Fitri, Idul Adha atau bahkan Ramadhan bukannya terjadi 1 atau 2, 3 tahun ini saja, namun sudah terjadi sejak 14 abad yang lalu. Seperti halnya pada hadist berikut, dimana terdapat perbedaan dalam hal penentuan awal bulan Ramadhan :
”Dari Kuraib, bahwa Ummul Fadhl binti Harits mengutusnya kepada Mu’awiyah RA ke negeri Syam. Kuraib berkata, ”Maka aku berangkat menuju Syam, akupun telah memenuhi permintaannya. Lalu tibalah bulan ramadlan, sementara aku masih berada di Syam Aku melihat hilal pada malam Jum’at, kemudian aku tiba di Madinah ((Secara hirarki Madinah berada di bawah pemerintahan Syam dengan ibukotanya Damaskus)) pada penghujung bulan (Ramadlan). Abdullah bin Abbas bertanya kepadaku sambil menyebut hilal (bulan syabit) dan berkata, ’kapan kalian melihat hilal?’ Aku menjawab, ”Kami melihatnya pada malam Jum’at.’ Ia bertanya, ’Apakah kamu melihatnya?’ Aku menjawab, ’Ya, dan orang-orang juga melihatnya. Mereka (Orang-orang di Syam) berpuasa dan Mu’wiyah juga berpuasa bersama mereka.’ Lalu Ibnu Abbas berkata,’Akan tetapi kami melihatnya pada malam sabtu, dan kami masih berpuasa hingga melengkapi 30 hari atau sampai melihatnya lagi.” Lalu aku bertanya, ’Apakah tidak cukup bagi kamu dengan ru’yah Mu’awiyah berserta puasanya?’ Ia menjawab, ’Tidak, demikian Rasulullah memerintahkan kami.” (HR. Muslim)

Dari hadist tersebut, para ulama sepakat bahwa dimungkinkan dalam dunia Islam meskipun dalam 1 khilafah/negara dengan lokasi jarak yang cukup jauh, maka masing-masing mempunyai wewenang untuk menetapkan tanggal. Hanya saja tidak boleh setiap orang menetapkan tanggal dengan sendirinya, haruslah penguasa yang sah. Seperti pada hadist diatas, maka yang menetapkan awal Ramadhan di Madinah bukanlah ormas, orsospol, jamaah pengajian, atau sebuah kelompok tapi seorang pemimpin tertinggi yang sah di Madinah yaitu Abdullah Bin Abbas ra. Demikian halnya di Damaskus, yang menetapkan adalah seorang peminpin negeri Syam yang bernama Mu’awiyah.

Jarak antara Syam dengan Madinah jika naik pesawat sekitar 2,5 jam. Jika dibandingkan antara Jakarta dengan Mekkah sekitar 9 jam perjalan dengan pesawat. Oleh karena itu jika di negara kita terdapat perbedaan dengan di Arab Saudi memang wajar dan tidak perlu di ributkan. Karena di Indonesia terdapat pemerintahan yang syah, maka pemerintah berhak menetapkan sendiri.

Oleh karenanya jika selama 14 abad umat Islam mengalami perbedaan dalam hal penentuan tanggal maka seharusnya tidaklah menjadi sebuah masalah, normal dan wajar-wajar saja jika pada jaman sekarang terjadi juga perbedaan tersebut. Yang tidak normal/tidak wajar adalah ketika dalam satu wilayah yang terdapat pimpinan yang sah, yang kemudian terdapat banyak ormas dimana masing-masing ormas membuat ketentuan sensiri-sendiri, ini yang tidak normal.

Bagaimana menyikapi perbedaan tanggal puasa Arofah jika dikaitkan dengan Wukuf di Arofah untuk yang beribadah haji ?

Di Saudi Arabia adalah negara dengan sistem Monarki (bukan Demokrasi seperti halnya Indonesia). Dimana keputusan penetapan ibadah wukuf ditetapkan oleh pemerintah setempat dan semuanya harus mengikuti ketetapan tersebut (tidak boleh menentang). Berbeda dengan di negara kita, meskipun pemerintah sudah menetapkan tanggal puasa Arofah dan tanggal hari raya Idul Adha, namun masih ada juga kelompok-kelompok ormas yang memutuskan ketentuannya sendiri (misal Muhammadiyah, NU, Persis dll). Kalaupun jika negara Indonesia adalah negara bagian dari Saudi Arabia, tetap saja dimungkinkan terjadinya perbedaan penetapan waktu (contohnya adalah dari hadist nabi diatas). Dalam perbedaan ini bukanlah sebuah masalah antara yang hak dengan yang bathil, namun lebih kepada mana yang lebih kuat istihad-nya.

Di dalam sebuah negara, seharusnya terdapat kesepakatan bahwa yang berhak melakukan ru’yah dan menentapkan adalah merupakan hak negara. Tidak boleh hal yang demikian dilakukan oleh organisasi-organisasi islam seperti NU, Muhammadiyah dll.

Apakah bisa dikaitkan tentang ibadah puasa arofah, sholat idul adha dengan kejadian di arab (misal wukuf)? Karena kalau bisa ditetapkan demikain, maka ada kemungkinan ketetapan di Indonesia lebih awal daripada di Arab Saudi

Bahwa tidak ada kewajiban mengikuti ketetapan di Saudi Arabia. Sebab apa yang ditetapkan oleh pemerintah Saudi Arabia juga merupakan keputusan politik juga. Di Indonesia terdapat pemerintahan sendiri yang sah yang juga memiliki wewenang untuk membuat keputusan sendiri. Oleh karena di Indonesia tidak terikat dengan Saudi Arabia maka untuk puasa Arofah hendaknya mengikuti ketetaapn yang diputuskan oleh pemerintahan Indonesia.

Seseorang yang ketika kecil belum melaksanakan aqiqah, maka ketika besar dan hendak beribadah qurban maka terlebih dahulu harus aqiqah baru kemudian bisa beribadah qurban. Apakah hal ini bisa dibenarkan ?

Dari Al Hasan bin Samuroh dari Nabi –Shallallaahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam bersabda : “Tiap – tiap anak (bayi) tergadaikan oleh aqiqohnya” (HR Ibnu Majah dll dengan sanad shahih). Kata-kata “tergadaikan” inilah yang kemudian menjadi sumber kekeliruan dalam memahaminya. Seolah-olah jika belum di aqiqahkan, maka bayi tersebut seakan-akan belum di ridhoi atau belum diterima allah swt. Dan pemahaman-pemahan inilah yang perlu di luruskan dan dibenarkan sebagaimana mestinya. Yang sesungguhnya menyembelih hewan untuk bayi yang baru lahir hukumnya sunnah dan bukan wajib ataupun sebuah syarat. Dan kesunnahannya itu berlaku ketika bayi tersebut baru lahir. Dalam islam beberapa ritual bayi yang baru lahir diantaranya adalah rambut dicukur/digundul, di-adzan-i, memberi nama dan juga penyembelihan hewan aqiqah. Jika ketika waktu kecil belum pernah dicukur/digundul, bukan berarti bahwa ketika dewasa harus digundul. Atau dulu ketika bayi belum di aqiqah-i maka ketika dewasa harus di aqiqahkan dulu, bukan demikian pemahamannya. Namun ritual-ritual bayi baru lahir dalam Islam kejadiannya adalah ketika masih bayi dan sudah tidak berlaku lagi ketika beranjak dewasa. Jadi tidak benar bahwa harus aqiqah dulu baru kemudian qurban ketika dewasa. Aqiqah sendiri hukumnya sunnah.

Orang yang masih memiliki hutang, bagaimana hukumnya dengan haji ?

Dalam ibadah haji terdapat 2 jenis syarat, yaitu syarat wajib dan syarat sah. Syarat wajib adalah yang jika sudah terpenuhi maka hukumnya wajib. Sedangkan syarat sah adalah yang jika sudah terpenuhi maka hukumnya sah. Jika dihubungkan dengan kekayaan/kemampuan finansial maka berkaitan dengan syarat wajib. Dimana jika sudah mampu (dalam hal keuangan) maka wajib untuk melaksanakan ibadah haji. Namun pelaksanaan kewajiban hajinya terdapat perbedaan diantara ulama, apakah ketika itu juga harus beribadah haji ataukah bisa ditunda kemudian hari.

Ada juga orang yang belum memiliki kemampuan finansial untuk ibadah haji, sehingga orang tersebut tidak wajib melaksanakan ibadah haji. Pada suatu kasus, jika seseorang yang tidak mampu (dalam hal finansial) untuk ibadah haji, namun kemudian orang tersebut mendapatkan bantuan/hadiah untuk berangkat haji, maka ibadah hajinya tetaplah sah. Karena memiliki harta bukanlah syarat sah namun adalah syarat wajib (jika punya wajib, jika tidak punya, maka tidak wajib). Masalah uang yang digunakan untuk ibadah haji didapatkan dari berhutang, mencuri, korupsi dll ada hukumannya tersendiri tetapi hajinya tetaplah sah. Jadi jika ibadah haji dengan dana yang didapatkan dari berhutang tetap saja hukumnya sah, namun sebenarnya dia belum wajib haji karena belum mampu dari segi finansial-nya.

Bagaimana hukumnya jika terdapat bagian tubuh dari hewan qurban diambil oleh yang menyembelih (misal kepala, kaki dll)?

Yang diperbolehkan dari hewan qurban yang disembelih adalah dimakan sendiri oleh yang berqurban, dihadiahkan atau disedekahkan tetapi tidak boleh dijual. Jual beli secara langsung maupun tidak langsung tidak diperbolehkan. Jual beli secara langsung misalnya, bagian tubuh hewan qurban seperti kulit dll bisa langsung dibeli ketika hewan disembelih. Jual beli secara tidak langsung misalnya, orang berqurban memberikan amanat/tugas kepada orang lain untuk menyembelih hewan qurban. Namun sebagai upahnya, diambil dari hewan qurban tersebut. Penyembelihan yang dilakukan oleh orang lain maka dihargai dengan upah, bukan dengan sedekah atau hadiah. Dalam hal ini, memberi upah dengan daging qurban tidak diperbolehkan.

Sehingga dengan demikian yang perlu diperhatikan adalah panitia hewan qurban tidak sama dengan amil pada zakat. Jika amil zakat, terdapat ketetapan dari Allah swt bahwa amil zakat mendapat bagian dari harta zakat. Sedangkan pada panitia hewan qurban, tidak ada ketentuannya bahwa mereka mendapatkan hak dari bagian hewan qurban. Sehingga panitia hewan qurban hendaknya mendapatkan upah tersendiri.

Namun jika seseorang mengambil bagian dari uang qurban diperbolehkan, sebagai contoh berikut :
Si A yang mempunyai uang sejumlah 1,5juta hendak berqurban 1 ekor kambing dan menyerahkan uang tersebut kepada panitia qurban yang ada di masjid dekat rumahnya. Oleh panitia qurban dicarikan seekor kambing di kampung yang harganya bisa miring namun dengan kualitas kambing yang baik (tidak cacat). Dapatlah kambing dengan harga 1,3juta. Maka terdapat sisa uang sebesar 200ribu yang jika diambil oleh panitia tidak menjadi masalah. Karena uang tersebut diambil bukan dari bagian kambing qurban-nya secara langsung, namun diambil dari hasil/upah mencari/membeli kambing di kampung (yang demikian ini seperti halnya yang dilakukan oleh tukang jual kambing qurban).

Seorang yang sudah melaksakan ibadah haji, ketika kembali ke tanah air ternyata kelakuannya tidak layak mendapatkan julukan haji mabrur. Apakah ibadah haji yang sudah dilakukannya sah atau tidak sah ?

Istilah kata mabrur memang terdapat dalam hadist nabi. Tetapi terminologi para ulama lebih memilih menggunakan kata sah atau tidak sah daripada menggunakan kata mabrur. Karena istilah sah dan tidak sah ibadah hajinya dikaitkan dengan hukum minimal ibadah haji. Sedangkan istilah kata Mabrur tidak ada kaitannya dengan sah atau tidaknya ibadah haji. Namun istilah mabrur lebih kepada kualitas ibadah hajinya. Seperti halnya dalam ibadah sholat, jika berhubungan dengan sholat khusuk maka lebih kearah kualitas, sedangkan apakah sholat-nya sah atau tidak maka dikaitkan dengan rukun-rukun sholat sudah terpenuhi atau belum.

Secara kemampuan finansial tidak mencukupi untuk ber-qurban apa yang harus dilakukan jika ingin tetap beramal di hari raya Idul Qurban ?

Jika secara finansial tidak cukup untuk membeli hewan qurban maka tidak bisa/tidak perlu melakuan qurban. Namun bisa melakukan amal kebajikan yang lain yaitu dengan cara men-sedekahkah harta tersebut langsung kepada fakir-miskin yang membutuhkan, tentunya akan mendapatkan ganjaran khusus dari Allah swt.

Dalam qurban tidak dikenal istilah latihan qurban. Dimana beberapa orang mengumpulkan uang untuk dibelikan hewan qurban. Maka yang demikian bukanlah ritual hewan qurban, namun lebih kearah acara makan-makan dengan menyantap daging kambing.

Sumber: http://kajiankantor.com

About adminmtt

Majelis Telkomsel Taqwa adalah organisasi yang berasaskan Islam dan mewujudkan insan Telkomsel yang bertakwa, amanah, profesional, berakhlaq mulia serta mampu menyebarkan karakter tersebut baik di lingkungan Telkomsel maupun di lingkungan lainnya yang lebih luas

Related posts

Leave a Reply