Hidup Dinilai dari Akhir 

Lelaki ini berani luar biasa. Tak dibiarkannya musuh-musuh Allah yang lewat di hadapannya lolos. Ia menerjang kawanan musuh tanpa rasa takut. Lelaki ini menjadi magnet perhatian para sahabat Rasulullah SAW. Gesit, berani, dan tak kenal rasa takut kala berjihad. Benar-benar sosok mujahid sejati.

Namun, keliru. Gumaman para sahabat yang menyebutnya, “Dia pasti yang beruntung dalam peperangan ini,” dipatahkan Rasulullah SAW. “Sungguh dia adalah ahli neraka.”

Sontak sabda Nabi Muhammad SAW tersebut membuat para sahabat keheranan. Bagaimana mungkin, seseorang yang sangat berani membela panji Allah dan dijanjikan masuk surga jika syahid justru divonis masuk neraka?

Maka, salah seorang sahabat lain mengikuti lelaki tersebut. Sang lelaki itu pun terluka hingga ia mengeluh kesah. Ia tak tahan rasa sakit yang teramat itu. Lantas ia mencabut pedangnya dan ia tancapkan di tubuhnya. Lelaki itu pun tewas bunuh diri justru saat pintu surga terbuka bagi yang syahid dalam medan pertempuran.

Kisah yang termaktub dalam hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari ini memberikan banyak makna tentang amal. Bisa jadi apa yang tampak menjadi amal saleh di hadapan manusia belum tentu bermakna amal saleh di hadapan Allah SWT.

Amal akan dihitung sejak ia diniatkan hingga ia tuntas di akhirnya. Bahkan, sebuah amal justru dilihat di saat ujung dituntaskannya. Apakah ia tetap lurus dalam kaidah sunah baik tata cara maupun niat atau justru ia menyeleweng lewat niat-niat halus yang menggoda. Hidup dinilai dari akhirnya.

Ada sebuah hadis lain. Hadis yang cukup panjang diriwayatkan Imam Bukhari dari Abu Abdirrahman Abdullah bin Mas’ud RA. “Ada seseorang di antara kalian yang mengerjakan amalan ahli surga,” ungkap Nabi SAW dalam sabdanya. “Sehingga, tidak ada jarak antara dirinya dan surga kecuali hanya sehasta. Kemudian ia didahului ketetapan Allah lalu ia melakukan perbuatan ahli neraka dan ia masuk neraka.”

“Ada di antara kalian yang mengerjakan amalan ahli neraka,” ujar Rasulullah SAW melanjutkan, “Sehingga jaraknya dengan neraka hanya tinggal sehasta. Kemudian ia didahului ketetapan Allah lalu mengamalkan perbuatan ahli surga, maka ia masuk surga.”

Tepat sudah. Betapa memulai sebuah pekerjaan dengan niat yang benar adalah penting karena niat menjadi pembeda apakah sesuatu itu bernilai ibadah atau bukan. Menjaga amal selepas niat juga penting karena kita mesti paham apakah tata caranya sudah digariskan syariat atau tidak. Namun, justru yang kadang terlewat, memastikan kesudahan dari sebuah amal tak kalah penting. Ia bahkan bisa menentukan apakah keseluruhan amalnya menjadi sia-sia atau bernilai tinggi. Hidup dinilai dari akhirnya.

Jika seseorang dalam pandangan manusia dicap telah menjadi ahli surga karena dekat dengan amal saleh, itu belumlah cukup. Jangan-jangan terselip kesombongan sehingga di akhir hayat lantas melakukan sebuah kemaksiatan. Maka, setitik kemaksiatan itu mengapus semua amalan saleh di mata manusia. Mengelu-elukan manusia harus proporsional, objektif, alih-alih mengultuskan.

Begitu juga jika seseorang begitu buruknya di mata manusia. Sehingga, ia dicap tak pantas menginjak surga karena kemaksiatan demi kemaksiatan. Namun, di akhir hayatnya ia mengamalkan amalan penduduk surga. Maka, laksana tobat nasuha yang menghapus dosa, bisa jadi ia melesat lebih tinggi menuju janahnya. Mengolok-olok manusia yang dicap buruk bukanlah tabiat yang baik. Karena, kita sama sekali tak pernah tahu bagaimanakah akhir kehidupan dari orang tersebut. Sekali lagi, hidup dinilai dari akhirnya.

Tugas kita sebagai hamba hanyalah satu, istiqamah. Kita harus memastikan betul di awal dalam niat, di tengah dalam amal, dan di akhir dalam ikhtiar, semua terjaga dalam koridor. Kematian memang ditakdirkan menjadi sebuah misteri. Hikmahnya, tidak ada alasan untuk tidak memastikan setiap detik yang kita lakukan adalah amal yang terbaik. Karena, bisa jadi detik tertentu adalah garis batas kehidupan kita dan kita ingin menjadi yang terbaik saat batas hidup sudah mencapai akhir. Kita ingin hidup yang dinilai dari akhirnya dalam akhir yang baik.

Sumber: republika.co.id

 

About adminmtt

Majelis Telkomsel Taqwa adalah organisasi yang berasaskan Islam dan mewujudkan insan Telkomsel yang bertakwa, amanah, profesional, berakhlaq mulia serta mampu menyebarkan karakter tersebut baik di lingkungan Telkomsel maupun di lingkungan lainnya yang lebih luas

Leave a Reply